Prajurit malam

Sepertinya kalian mulai bosan jika ku bercerita soal cinta lagi pula dengan kondisi malam yang penuh bintang seperti saat ini rasanya tidak tepat jika harus menciptakan lara dalam kehampaan malam. Oleh karena itu ijinkan aku malam ini bercerita tentang sebuah tokoh, mungkin kalian bisa menyebutnya manusia untuk memudahkan ku bercerita tapi yang pasti cerita ini benar-benar terjadi disuatu tempat diluar sana. Sebuah kisah mengenai sang prajurit malam.
Hari itu seperti biasa Mao tengah melamun duduk diantara sela dahan pohon yang rimbun sembari menerbangkan pikirannya entah kemana namun yang pasti lebih jauh dari yang biasanya dia lakukan.  Entah apa yang sedang ia lamunkan yang pasti itu punya  hubungan dengan kejadian yang ia akan alami hari itu.
Hari itu berbeda dengan hari yang lain, sebab hari itu ia akan melakukan upacara kedewasaan. Upacara yang akan membuatnya tidak bisa lagi bertingkah seperti anak-anak. Hari dimana ia harus melangkah pergi dari rumahnya dan memulai perjalanan hidupnya sendiri. Berat memang tapi begitulah adat yang masih dipegang ditempatnya berasal. Dewasa berarti semua adalah tanggung jawab dirimu sendiri.
Seperti yang lainnya Mao melakukan tradisi itu ketika ia menginjak usia 18 tahun dan hari itu tepat dia menginjak usia 18 tahun. Sesungguhnya upacara kedewasaan bagi Mao adalah hal yang biasa dan tidak ada yang harus ditakuti tapi ada satu hal yang membuatnya masih melamun hingga fajar berdiri tepat diatasnya. Ia masih bimbang mengenai mimpi dan realita di hidupnya.
Mungkin kalian akan bertanya dan mulai berpikir bahwa Mao adalah seseorang yang tidak memiliki masa depan yang cerah atau Mao hanyalah sampah masyarakat ditempatnya yang kerjaanya malas-malasan setiap hari. Jika kalua kalian mulai berpikir seperti itu maka ku pastikan pikiran kalian salah. Untuk memperjelas maksudku mari kita Tarik mundur hingga ke 6 bulan sebelum upacara kedewasaannya.
Mao masih asik berlatih memainkan senjata meski senja sudah mulai tenggelam ditelan sang malam. Ya setiap anak laki-laki didesanya wajib bisa menggunakan pedang dan berburu dan Mao merupakan salah satu anak yang mampu melakukannya dengan baik bahkan jika dibandingkan dengan orang-orang dengan usia jauh diatasnya.
“cukup latihannya Mao” teriak seseorang dari kejauhan kepada Mao.
“tapi aku belum lelah” jawab Mao
“tapi hari sudah malam, kamu harus istirahat besok kita lanjutkan lagian aku tahu kegiatanmu kalua sudah malam jadi tidak usah sok-sok-an kamu berlatih lama”
“baiklah, tapi terima kasih sudah mau memberiku kesempatan untuk melakukan yang kusuka, meski orang lain mengejekku akan hal itu”
“itu gunannya teman bukan? Walau usia kita berbeda cukup jauh, kamu sudah kuanggap temanku sendiri bukan muridku”
“terima kasih guru, sampai jumpa besok”
Mao pun bergegas pulang menuju rumahnya untuk beristirahat sesaat. Namun ketika semua tertidur perlahan-lahan Mao keluar dari rumahnya sembari membawa kertas dan kuas. Mao berbeda dengan anak laki-laki seusianya yang senang bermain pedang dan menjadi prajurit saat mereka dewasa. Mao lebih senang menghabiskan waktunya dengan melukis atau mengoreskan sair dalam kertas. Tapi hal itu membuat Mao menjadi ledekan teman-temannya bahkan satu desa selalu menggunjingkannya ketika ia mulai menghabiskan waktunya dengan melukiskan atau menulis itulah kenapa  dia memutuskan untuk mulai kegemarannya ketika semua orang tertidur.
Orang tuanya tidak pernah melarang  mereka membebaskan Mao ingin tetap menggeluti apa yang ia sukai atau memilih apa yang ia mampu yaitu menjadi prajurit, tapi Mao sadar orang tuanya tetap seperti yang lain prajurit adalah hal yang mereka ingin dari Mao. Itulah kenapa hari itu Mao dihari upacara kedewasaannya begitu bimbang dengan jalan yang akan ia ambil.
“kak ayo turun kak, udah mau dimulai” teriak anak kecil dari bawah pohon tempat Mao berada
“iya bentar lagi”
“gak bisa bentar lagi kak, sekarang “
“iya-iya”
Upacara kedewasaan ditempatnya berasal begitu sederhana dan tidak menyeramkan , tidak ada istilah berburu hewan buas atau semacamnya dalam upacara tersebut tapi dalam upacara tersebut sang anak akan ditarik sumpahnya dalam menjadi hidupnya. Sekali dia memilih jalan hidupnya di upacara tersebut maka sampai mati ia harus menjalankannnya jika tidak maka ia akan terasingkan dari tempat tersebut.
Tibalah saat giliran Mao untuk bersumpah dalam hidupnya, semua orang ditempat tersebut tengah menunggu apa yang akan diucapkan oleh Mao, apakah ia akan memilih hal yang berbeda dengan orang lain ataukah sama dengan yang lain.
“aku Mao dari keluarga Tsu bersumpah atas nama Pemilik alam dan pelindung bumi, akan terus berjalan dalam jalan seorang prajurit untuk menjaga tanah ku dengan seluruh nyawaku”
Kata Mao sembari menutup matanya yang sudah berkaca-kaca semenjak tadi. Pada akhirnya Mao tetap memilih untuk mewujudkan apa yang orang-orang disekitarnya inginkan untuk dirinya.  Tapi didalam hatinya Mao tau bahwa akan selalu ada malam dimana ia akann menyendiri dan menjadi dirinya sendiri. Seperti malam ini dibawah bintang orion di mulai melukis langit malam sembari menggoreskan syair diujung kanvasnya sebagai penutup lukisannya.


Semua air selalu bermuara pada tempat yang sama
Sama seperti hidup yang akan berujung pada kematian
Tapi setiap tetes air punya jalannya sendiri
Tidak semua harus melewati anak sungai yang sama untuk mencapai tempat yang sama
Jikapun sang air akhirnya terpaksa mengikuti anak sungai yang sama ingatlah dalam dirinya dia bukanlah bagian anak sungai tersebut
Begitupun hidup ini, mungkin dia berjalan dijalan yang sama dengan kita

Tapi ingatlah selalu dia punya jati diri yang tidak bis dia hilangkan meski dia berjalan sembari menutupinya.

Komentar

Postingan Populer